PROSES GO PUBLIC SUATU PERUSAHAAN



Latar Belakang

Menurut Pasal 1 angka 22 dari Undang-Undang Pasar Modal No.8 Tahun 1995, yang merupakan acuan utama kegiatan pasar modal, perusahaan publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal setor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Jika suatu perusahaan akan go public, haruslah siap mengambil resiko, disamping siap pula menikmati manfaat daripadanya. Diantara keuntungan dari perusahaan yang go public adalah :
1. Masuknya fresh money yang melimpah
2. Net worth perusahaan akan lebih baik sehingga alternatif perolehan dana selanjutnya akan lebih banyak. Misalnya lewat right issue.
3. Memungkinkan ekspansi perusahaan lewat akuisisi tanpa harus membayar cahs, tetapi lewat pengisuan saham.
4. Perusahaan akan lebih terkenal, dengan prestise yang tinggi, sehingga operasi bisnisnya lebih baik dan merketnya akan lebih meluas.
5. Likuidasi perusahaan dan saham akan lebih baik, karena setiap saat perusahaan/pemegang saham dapat memperjualbelikan sahamnya.
6. Lebih menjamin kelestarian perusahaan, karena terhindar dari mismanagement. Sebab, setiap aktivitas yang menyimpang dalam suatu perusahaan publik, langsung disorot oleh publik.

Disamping keuntungan terdapat juga kerugiannya yang mesti diwanti-wanti oleh perusahaan yang akan go publik, walaupun kerugian tersebut secara umum jauh tidak berarti dibanding dengan keuntungan yang diperoleh. Kerugian-kerugian go publik antara lain :
1. Keharusan membuka semua informasi dapat menguntungkan kompetitor dan sangat mengekang pihak pemilik ataupun pengurus/komisaris.
2. Pemilik bisnis kehilangan fleksibilitasnya dalam berbisnis, karena adanya keharusan mendapat izin tertentu dari pemegang saham, termasuk pemegang saham publik atau laporan atau izin dari otoritas tertentu terhadap tindakan tertentu.
3. Beberapa alternatif bisnis bisa dilepas oleh perusahaan karena ditakuti akan berdampak negatif terhadap fluktuasi harga di pasar saham.
4. Masalah administrasi dan dana tambahan yang mesti dikeluarkan terutama pada proses go publik.
5. Kehilangan control dan dari pemegang saham sendiri, terutama jika porsi saham yang dijual terlalu besar.
6. Kecenderungan pemberian deviden yang besar, sehingga pembayaran pajak tinggi dan investment dari perusahaan mengecil.

Sementara itu, banyak pihak terlibat ketika suatu perusahaan melangkah go public. Ada notaris, akuntansi, appraisal, underwriter, konsultan hukum dan lain-lain. Mereka terlibat sesuai bidangnya masing-masing dengan tanggung jawabnya masing-masing pula. Tetapi adalah juga reasonable, jika dalam hal-hal tertentu, satu atau dua diantara mereka bertanggung jawab bersama-sama.

Disamping itu, pmerintah juga ikut campur secara cukup dalam terhadap perusahan baik pada proses go public maupun setelah menjadi perushaan public. Hal ini disebabkan karena suatu perusahaan public menyangkut kepentingan mesyarakat investor yang meluas bahkan ikut menjadi andil terhadap baik tidaknya kerugian ekonomi secara makro. Karena itu, sebagai pemerintah dalam Negara social welfare, pmerintahan bertindak untuk dan atas nama masyarakat untuk masuk dan terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat sacara luas.

Restrukturisasi Anggaran Dasar Dalam Perusahaan
Sebelum suatu perusahaan go public, anggaran dasar perusahaan harus direkstrukturisasi terlebih dahulu sehingga sesuai dengan persyaratan perusahaan go publik. Maka perlu dikawinkan di antara ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. ketentuan dalam KUHD tentang PT
b. Petunjuk-petunjuk dari Departemen kehakiman tentang akta pendirian PT
c. Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pasar modal
d. kebiasaan dalam praktek PT dan praktek pasar modal

Diantara yang  direkstrukturisasi adalah masalah kapitalisasi perusahaan. Untuk bisa go public tentunya modal perusahaan harus relatif besar, mengingat akan tidak efisien jika saham yang dijual di bursa nanti dalam jumlah kecil. Untuk itu dilakukan peningkatan modal dasar perusahaan. Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, modal disetor dari perusahaan publik tidak boleh kurang dari Rp 3.000.000.000,-, disamping itu, telah menjadi standar dari anggaran dasar PT go public bahwa issud shares haruslah sama dengan paid up capital. Maksudnya tidak boleh ada saham yang ditempatkan yang tidak disetor penuh. Sehingga struktur modalnya menjadi modal dasar yang terdiri dari saham portepel dan saham setor. Nilai nominal saham juga harus diubah sehingga sesuai denga ketentuan pasar modal, yaitu Rp 1.000,- atau Rp 500,- setiap nilai nominal saham PT biasa yang biasanya jauh diatas Rp 1.000,- atau Rp 500,- harus diturunkan terlebih dahulu, sehingga jumlah lembar sahamnya menjadi membengkak. Walaupun sudah semakin terasa bahwa nilai Rp 1.000,- atau Rp 500.- itu terlalu kecil untuk ukuran sekarang, sehingga menjadi tidak efisien.

Personalia dalam perusahaan juga biasanya menjadi titik focus dalam restrukturisasi anggaran dasar. Mereka yang mempuyai latar belakang dan moral yang “cacat” mesti telebih dahulu disingkirkan. Hal tersebut dilakukan disamping demi menjaga image perusahaan, juga agar proses go publiknya lancar. Menyingkirkan direktur, komisaris atau personalia lainnya tidak terlalu sulit karena dapat dilakukan dengan RUPS dan PHK. Sungguhpun mempunyai resiko-resiko tertentu, terutama jika yang bersangkutan tidak mau menerimanya dan memberikan reaksi. Yang paling krusial adalah jika yang akan dikeluarkan dari perusahaan tersebut adalah salah satu atau lebih pemegang saham.

Posisi Hukum 
Secara hukum, kedudukan prospectus sama dengan kedudukan iklan dari suatu produk, dimana tidak saja isinya harus benar, tetapi juga tidak boleh misleading . Sunguhpun sistem perjanjian kita kurang dapat menerima propektus/iklan sebagai suatu “offer” dari perjanjian, paling tidak pihak yang terkait dengan propektus telah melakukan suatu perbuatan yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dus, pasal “catch all” 1365 BW dapat diterapkan karena telah merupakan onrechtmatige daad. Misleading prospectus itu dapt berupa (1) memberikan keterangan yang tidak benar,(2) memberikan keterangan yang setengah benar, dan (3) tidak memberikan keterangan terhadap fakta materiil.

Masalah Yuridis Yang Sering Terjadi Dalam Praktek
Terkadang pihak emiten sering mengabaikan aspek yuridis yang ada dalam perusahaan, karena sebelum go public hal yang menjadi masalah tersebut kelihatannya wajar-wajar saja. Padahal setiap masalahnya cukup marginal tetapi membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk dapat mengatasinya. Beberapa masalah yuridis yang sering mengganjal dalam praktek adalah yang berhubungan dengan (1) keabsahan pendirian perseroan dan permodalan (2). Penguasaan Atas Asset (3) Perkara-Perkara di Pengadilan (4) Izin-Izin dan (5) Kewajiban Lainnya.

1. Keabsahan Pendirian Perusahaan Dan Permodalan
Cukup sering terjadi ketidakberesan dari akta-akta yang dipunyai oleh suatu PT yang akan go public, sehingga perlu dibereskan lebih dahulu. Misalnya ada akta tentang perubahan anggaran dasar tetapi tidak disampai dip roses k Departemen Keakiman. Menurut ketentuan, setiap terjadi perubahan anggaran dasar yang merupakan perubahan anggaran dasar dalam arti sebenarnya, perlu mendapat izin dari Menteri Kehakiman. Jika hal ini terjadi, tentu izin tersebut harus terlebih dahulu diurus, dan untuk itu memerlukan waktu. Atau pernah pula kejadian pengikatan saham terjadi beberapa kali dalam satu PT tetapi terdapat missing link2. Penguasaan Atas Asset
Harus pula jelas relasi yuridis antar perusahaan dengan asset-asetnya. Misalnya jenis haknya apa, dan didukung oleh dokumntasinya yang benar. Karena tingkatan hak itu bermacam-macam, maka tidak semua jenis hak dapat menjadi alas hukum yang kuat terhadap asset perusahaan. Sering pula terjadi suatu asset, misalnya tanah, dimaksudkan sebagai haknya perusahaan, tetapi secara legal tidak demikian. Misalnya ada secara defacto asset perusahaan tetapi di seertifikat masih merupakan hak milik para pemegang saham atau pengurusnya. Dalam praktek fakta ini sering diabaikan.

3. Perkara-Perkara di Pengadilan
Jika ada perkara di pengadilan atau Arbitrase, harus diumumkan kepada public. Bahkan juga harus dianalisis apakah perkara tersebut material atau tidak terhadap eksistensi perusahaan. Dari perundang-undangan yang ada, ada kesan bahwa yang diwajibkan hanya disclosure kepada public. Artinya, ada perkara atau tidak, material atau tidak, asal telah dilakukan disclosure , go public tetap jalan. Terserah apakah nanti mau beli saham atau tidak. Padahal seyogyanya, jika perusahaan mempunyai masalah yangm material, maka tidak pantas go public sehingga izin go public mestinya tidak boleh diberikan. Bahkan konsultan hukum mestinya jangan bersedia mendampingi perusahaan untuk go public jika masalahnya seserius itu. Bahkan tidak hanya perkara di pengadilan/arbitrase, masalah-masalah yang potensial untuk jadi dispute atau dispute/perilaku yang potensial masuk pengadilan pun mestinya harus di disclose.

4. Izin-Izin Dan Kewajiban Lainya
Banyak izin atau kewajiban lain dari perusahaan mesti dituntaskan atau setidak-tidaknya dalam proses penuntasan ketika perusahaan tersebut dalam proses go public. Misalnya sudahkah ada kesepakatan kerja bersama dengan pekerjanya, asuransi, izin Undang-Undang Gangguan, Koperasi karyawan, KTP pengurus/komisaris yang masih berlaku dan bukti kewarganegaraan, wajib daftar perusahaan, NPWP, wajib AMDAL, koperasi, pembayaran pajak secara benar, izin lokasi, IMB, dan sebagainya. Jika diantara kewajiban tersebut yang belum diurus pada saat go public, minimal kewajiban tersebut sudah diproses pengurusannya secara serius. Adalah bijaksana jika semua hal-hal yuridis yang diperkirakan mengganjal apalagi jika penanggulannya memakan waktu lama, hendaknya dituntaskan terlebih dahulu jauh-jauh hari sebelum perusahaan yang bersangkutan go public.


Kesimpulan
Masih banyak hal-hal yang menyangkut dengan proses go public dari suatu perusahaan belum diatur oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ini bukan saja akan mempersulit para pelaku yang terlibat dalam proses go public tersebut, bahkan jug adapt membwa resiko baik terhadap para pelaku itu sendiri, terhadap perusahaan yang bersangkutan, terhadap pemerintah, bahkan rakyat juga ikut menanggung beban. Disamping itu praktek go public di Negara kita juga masih miskin pengalaman. Dan terutama dari segi yuridis, terkesan melempem. Dan, yurispudensi juga tidak dapat menolongnya berhubung sangat jarang kasus berkenaan dengan proses go public yang sempat sampai ke pengadilan. Dalam keadaan seperti ini belajar dari Negara lain tentu sangat dianjurkan.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan New Normal Dalam Aktivitas Kegiatan Ekonomi Indonesia

Perlindungan Hukum Bagi Usaha Mikro dan Kecil

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Koperasi